Kriminologi
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama kriminologi
yang ditemukan oleh P. Tonipard (1830-1911) seorang ahli antropologi Perancis,
secara harfiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau
penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi
dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat. (Toto Santoso, Achyani
Zulfa, 2002: 9).
Kriminologi
lahir dan kemudian berkembang menduduki posisi yang penting sebagai salah satu
ilmu pengetahuan yang interdisiplin dan semakin menarik, bergerak dalam dua
“roda besar” yang terus berputar dalam perubahan pola-pola kriminalitas sebagai
fenomena sosial yang senantiasa dipengaruhi oleh kecepatan perubahan sosial dan
teknologi. Roda-roda yang bergerak itu adalah penelitian kriminologi dan
teori-teori kriminologi.(Soedjono Dirdjosisworo, 1994: 107).
Ada
beberapa penggolongan teori dalam kriminologi antara lain(Soedjono
Dirdjosisworo, 1994: 108-143) :
1. Teori
Asosiasi Diferensial (Differential Association Theory)
Sutherland
menghipotesakan bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui asosiasi yang
dilakukan dengan mereka yang melanggar norma-norma masyarakat termasuk norma
hukum. Proses mempelajari tadi meliputi tidak hanya teknik kejahatan
sesungguhnya, namun juga motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi yang nyaman
yang memuaskan bagi dilakukannya perbuatan-perbuatan anti sosial.
Theori
asosiasi differensial Sutherland mengenai kejahatan menegaskan bahwa :
a. Perilaku
kriminal seperti halnya perilaku lainnya, dipelajari.
b. Perilaku
kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu
proses komunikasi.
c. Bagian
penting dari mempelajari perilaku kriminal terjadi dalam pergaulan intim dengan
mereka yang melakukan kejahatan, yang berarti dalam relasi langsung di tengah
pergaulan.
d. Mempelajari
perilaku kriminal, termasuk didalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi/
dorongan atau alasan pembenar.
e. Dorongan
tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundang-undangan;
menyukai atau tidak menyukai.
f. Seseorang
menjadi deliquent karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan
lebih suka melanggar daripada mentaatinya.
g. Asosiasi
diferensial ini bervariasi tergantung dari frekuensi, durasi, prioritas dan
intensitas.
h. Proses
mempelajari perilaku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan anti
kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar.
i. Sekalipun perilaku kriminal merupakan pencerminan dari
kebutuhan umum dan nilai-nilai, akan tetapi tingkah laku kriminal
tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi,
oleh karena perilaku non kriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum
dan nilai-nilai yang sama.
2. Teori
Tegang (Strain Theory)
Teori
ini beranggapan bahwa manusia pada dasarnya makhluk yang selalu memperkosa
hukum atau melanggar hukum, norma-norma dan peraturan-peraturan setelah terputusnya
antara tujuan dan cara mencapainya menjadi demikian besar sehingga baginya
satu-satunya cara untuk mencapai tujuan ini adalah melalui saluran yang tidak
legal. Akibatnya, teori “tegas” memandang manusia dengan sinar atau cahanya
optimis. Dengan kata lain, manusia itu pada dasarnya baik, karena kondisi
sosiallah yang menciptakan tekanan atau stress, ketegangan dan akhirnya
kejahatan.
3. Teori
Kontrol Sosial (Social Control Theory)
Landasan
berpikir teori ini adalah tidak melihat individu sebagai orang yang secara
intriksik patuh pada hukum, namun menganut segi pandangan antitesis di mana
orang harus belajar untuk tidak melakukan tindak pidana. Mengingat bahwa kita
semua dilahirkan dengan kecenderungan alami untuk melanggar peraturan-peraturan
di dalam masyarakat, delinkuen di pandang oleh para teoretisi kontrol sosial
sebagai konsekuensi logis kegagalan seseorang untuk mengembangkan
larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar hukum.
Terdapat
empat unsur kunci dalam teori kontrol sosial mengenai perilaku kriminal menurut
Hirschi (1969), yang meliputi :
a.
Kasih Sayang
Kasih sayang ini meliputi kekuatan
suatu ikatan yang ada antara individu dan saluran primer sosialisasi, seperti
orang tua, guru dan para pemimpin masyarakat. Akibatnya, itu merupakan ukuran
tingkat terhadap mana orang-orang yang patuh pada hukum bertindak sebagai
sumber kekuatan positif bagi individu.
b. Komitmen
Sehubungan dengan komitmen ini, kita
melihat investasi dalam suasana konvensional dan pertimbangan bagi tujuan-tujuan
untuk hari depan yang bertentangan dengan gaya hidup delinkuensi.
c. Keterlibatan
Keterlibatan, yang merupakan ukuran
kecenderungan seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
konvensional mengarahkan individu kepada keberhasilan yang dihargai masyarakat.
d.
Kepercayaan
Akhirnya kepercayaan memerlukan
diterimanya keabsahan moral norma-norma sosial serta mencerminkan kekuatan
sikap konvensional seseorang. Keempat unsur ini sangat mempengaruhi ikatan
sosial antara seorang individu dengan lingkungan masyarakatnya.
4. Teori
Label (Labeling Theory)
Landasan
berpikir dari teori ini diartikan dari segi pandangan pemberian norma, yaitu
bahwa sebab utama kejahatan dapat dijumpai dalam pemberian nama atau pemberian
label oleh masyarakat untuk mengidentifikasi anggota-anggota tertentu pada
masyarakatnya. (Gibbs dan Erickson, 1975; Plummer 1979; Schur 1971).
Terdapat
banyak cara dimana pemberian label itu dapat menentukan batas bersama dengan
perilaku kriminal telah dijadikan teori, misalnya bahwa pemberian label
memberikan pengaruh melalui perkermbangan imajinasi sendiri yang negatif.
Menurut teori label ini maka cap atau merek yang dilekatkan oleh penguasa
sosial terhadap warga masyarakat tertentu lewat aturan dan undang-undang
sebenarnya berakibat panjang yaitu yang di cap tersebut akan berperilaku
seperti cap yang melekat itu. jadi sikap mencap orang dengan predikat jahat
adalah kriminogen.
5. Teori Psikoanalitik (Psyco
Analytic Theory)
Menurut
Sigmund Freud, penemu psikonanalisa, hanya sedikit berbicara tentang
orang-orang kriminal. Ini dikarenakan perhatian Freud hanya tertuju pada
neurosis dan faktor-faktor di luar kesadaran yang tergolong kedalam struktur
yang lebih umum mengenai tipe-tipe ketidakberesan atau penyakit seperti ini.
Seperti yang dinyatakan oleh Alexander dan Staub (1931), kriminalitas merupakan
bagian sifat manusia. Dengan demikian, dari segi pandangan psikoanalitik,
perbedaan primer antara kriminal dan bukan kriminal adalah bahwa non kriminal
ini telah belajar mengontrol dan menghaluskan dorongan-dorongan dan perasaan
anti-sosialnya.
1. Teori Rancangan Pathologis (Pathological Simulation
Seeking)
Menurut
Herbert C. Quay (1965) mengemukakan teori kriminalitas yang didasarkan pada observasi
bahwa banyak kejahatan yang nampak memberikan seseorang perasaan gempar dan
getaran hati atau sensasi. Kriminalitas merupakan manifestasi “banyak sekali
kebutuhan bagi peningkatan atau perubahan-perubahan dalam pola stimulasi si
pelaku”. Abnormalitas primer oleh karenanya dianggap sebagai sesuatu yang
terletak dalam respon psikologis seseorang pada masukan indera. Berarti
perilaku kriminal merupakan salah satu respon psikologis sebagai salah satu
alternatif perbuatan yang harus ditempuh. Lebih spesifik lagi telah
dihipotesakan bahwa para kriminal memiliki sistem urat syarat yang hiporeaktif
terhadap rangsangan.
Beberapa
bahasan dari teori rangsangan pathologis yang perlu mendapat perhatian :
a. Kriminal
dilakukan dengan sistem urat syarat yang diporeaktif dan otak yang kurang
memberi respon, keadaan demkian tidak terjadi dalam vakum, melainkan
berinteraksi dengan tujuan tempat tinggal tertentu dimana individu hidup dalam
pergaulan.
b. Anak-anak
pradelinkuen cenderung membiasakan diri terhadap hukuman yang diterimanya dan
rangsangan ini dengan mudah menambah frustasi dikalangan orang tua. Pola ini
kemudian bergerak dalam lingkungan interaksi negatif “orang tua dan anak” yang
pada gilirannya membentuk remaja dan orang dewasa yang bersifat bermusuhan,
memendam rasa benci dan anti sosial. Kecenderungan mencuri rangsangan
pathologis ini merupakan bagian dari gambaran kriminal.
c. Interaksi
orang-orang keadaan meliputi hipotesa :
1) Bahwa respon parental yang negatif dan tidak konsisten terhadap
perilaku mencari rangsangan atau stimuli sang anak, merupakan daya etiologis
dalam perkembangan kecenderungan-kecenderungan kriminalitas selanjutnya.
2) Bahwa
abnormalitas psikologis sang anak akan menyulitkan baginya mangantisapasi
konsekuensi yang menyakitkan atas perbuatannya.
Kedua faktor di atas merupakan
faktor yang memberi kontribusi kepada siklus yang merugikan dalam interkasi
orang tua anak yang bersifat negatif yang pada gilirannya berkulminasi pada
pola kriminalitas berat. Christopher Mehew dalam penelitiannya mengenai
kriminal dan prikologis menemukan adanya pengaruh kejiwaan terhadap perilaku
jahat yang disimpulkan sebagai tingkat kedewasaan yang terhambat (emotional-immaturity)
dan ternyata kondisi ini dipengaruhi oleh masalah-masalah keluarga yaitu disharmonie
home dan broken home.
2. Teori
Pilihan Rasional (Rational Choice Theory)
Landasan berpikir teori ini
menitikberatkan pada utilitas atau pemanfaatan yang diantisipasi mengenai taat
pada hukum lawan perilaku melawan hukum. Pendukung semula teori pilihan
rasional, Gary Becker (1968) menegaskan bahwa akibat pidana merupakan fungsi,
pilihan-pilihan langsung serta keputusan-keputusan yang dibuat relatif oleh
para pelaku tindak pidana bagi yang terdapat baginya. Pilihan rasional berarti
pertimbangan-pertimbangan yang rasional dalam menentukan pilihan perilaku yang
kriminal atau non kriminal, dengan kesadaran bahwa ada ancaman pidana apabila
perbuatannya yang kriminal diketahui dan dirinya diprotes dalam peradilan
pidana. Apabila demikian seolah-olah semua perilaku kriminal adalah keputusan
rasional.
A. Teori-Teori
Sebab Terjadinya Perilaku Jahat
Perilaku
jahat anak merupakan gejala penyimpangan dan patologis secara sosial itu juga
dapat dikelompokkan dlam satu kelas defektif secara sosial, dan mempunyai
sebab-musabab yang majemuk, jadi sifatnya multi-kausal.
Ada
beberapa penggolongan teori mengenai sebab terjadinya perilaku jahat meliputi :
(Kartini Kartono, 1985: 25-35).
1. Teori
biologis
2. Teori
psikogenesis (psikologis dan psikiatris)
3. Teori
sosiogenesis
4. Teori
subkultural
Ad.1.1. Teori Biologis
Tingkah
laku sosiopatik atau delikuen pada anak-anak dan remaja dapat muncul karena
faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang, juga dapat oleh
cacat jasmani yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini berlangsung :
a. Melalui
gen atau plasma pembawa sifat dan keturunan, atau melalui kombinasi gen, dapat
juga disebabkan oleh tidak adanya gen tertentu, yang semuanya bisa memunculkan
penyimpangan tingkah laku, dan anak-anak menjadi delikuen secara potensial.
b. Melalui
pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa (abnormal), sehingga
membuahkan tingkah laku delikuen.
c. Melalui
pewarisan kelemahan konstitusi anal jasmaniah tertentu yang menimbulkan tingkah
laku delikuen atau sosiopatik. Misalnya cacat bawaan brachy-dactylisme
(berjari-jari pendek) dan diabetes insipidus (sejenis penyakit gula) itu
erat berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental.
Ad.1.2. Teori Psikogenesis
Teori ini menekankan
sebab-sebab tingkah laku delikuen anak-anak dari aspek psikologis atau isi
kejiwaannya. Antara lain faktor intelegensi, ciri kepribadian, motivasi,
sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru,
konflik batin, emosi yang kontroversal, kecenderungan psikopatologis, dll.
Kurang lebih 90 % dari jumlah anak-anak berperilaku jahat berasal dari kalangan
keluarga berantakan (broken home). Kondisi keluarga yang tidak bahagian
dan tidak beruntung, jelas membuahkan masalah psikologis personal dan adjusment
(penyesuaian diri) yang terganggu pada diri anak, sehingga mereka mencari
kompensasi di luar lingkungan keluarga guna memecahkan kesulitan batinnya dalam
bentuk perilaku jahat. Ringkasnya, perilaku jahat anak-anak merupakan reaksi
terhadap masalah psikis anak-anak itu sendiri.
Ad.1.3. Teori Sosiogenesis
Landasan
berpikir teori ini menyatakan bahwa penyebab tingkah laku jahat pada anak-anak
adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya disebabkan
oleh pengaruh struktur sosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial,
status sosial atau internalisasi simbolis yang keliru. Jadi sebab-sebab
perilaku jahat itu tidak hanya terletak pada lingkungan familial dan tetangga
saja, akan tetapi terutama sekali, disebabkan oleh konteks kulturalnya. Maka
perilaku jahat anak-anak itu jelas di pupuk oleh lingkungan sekitar yang buruk
dan jahat, ditambah kondisi sekolah yang kurang menarik bagi anak-anak bahkan
adakalanya justru merugikan perkembangan pribadi anak. Karena itu, konsep-kunci
untuk dapat memahami sebab-sebab terjadinya kejahatan anak itu ialah pergaulan
dengan anak-anak muda lainnya yang sudah berperilaku jahat.
Ad.1.4. Teori Subkultural Delikuensi
Menurut teori subkultural ini,
perilaku jahat ialah sifat-sifat suatu struktur sosial dengan pola budaya
(subkultural) yang khas dari lingkungan familial, tetangga dan masyarakat yang
dialami oleh para anak yang berperilaku jahat tersebut.
Sifat-sifat masyarakat tersebut
antara lain ialah :
a.
Punya populasi yang padat
b.
Status sosial-ekonomis penghuninya
rendah
c. Kondisi
fisik perkampungan yang sangat buruk
d.
Banyak disorganisasi familial dan
sosial bertingkat tinggi
Karena itu sumber utama kemunculan
perilaku jahat anak adalah subkultural-subkultural perilaku jahat dalam konteks
yang lebih luas dari kehidupan masyarakat. Ringkasnya, ditengah masyarakat
modern sekarang, saat tidak semua kelompok sosial mendapatkan kesempatan yang
sama untuk menapak jalan masuk menuju kekuasaan-kekayaan dan berbagai previlage,
anak-anak dari kelas ekonomi terbelakang dan lemah mudah menyerap etik yang
kontradiktif dan kriminal, lalu menolak konvensi umum yang berlaku, mereka
menggunakan respon kriminal. Maka tingkah laku jahat anak-anak itu merupakan reaksi
terhadap kondisi sosial yang ada.